Sabtu, 12 Januari 2013

Mang Koko, Sastrawan Sunda Tiada Tara (1917-1985)

Mang Koko yang menyandang nama asli  Haji Koko Koswara, lahir di Kecamatan Indihiang, Tasikmalaya, 10 April 1917 adalah seorang tokoh seniman Sunda. Siapapun yang menyukai kawih Sunda, dapat dipastikan mengenal atau sekurang-kurangnya mendengar nama: Mang Koko (alm). Beliau adalah seorang guru, santri, sastrawan, penulis, jurnalis, organisator, pencipta lagu, pembaharu karawitan Sunda, dan patut menjadi suri tauladan bagi praktisi seni di zaman sekarang. Mang Koko telah sukses mencipta kawih untuk anak-anak sampai tingkat dewasa, sehingga lebih dikenal sebagai maestro karawitan, dan karya-karyanya berupa kawih, tembang (pupuh rancag), sekar tandak, gending karesmen, dll., abadi sampai kiwari. Karya-karyanya masih bergema di panggung-panggung, radio, dan televisi.
Ia mengikuti pendidikan HIS (1932) dan MULO Pasundan (1935). Sejak tahun 1937 berturut-turut beliau bekerja di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Paqsundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Badung), sampai ia wafat.
Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya, Ibrahim alias Sumarta (masih keturunan Sultan Hasanuddin Banten) yang tercatat sebagai juru mamaosCiawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.
Ayah delapan anak ini sudah mencipta seribu lebih lagu pop Sunda. Badminton, yang populer itu – apalagi di saat bulu tangkis kita masih berjaya – ternyata diciptakan jauh sebelum Rudy Hartono menjuarai All England. Mang Koko menuliskan syair kocak itu tahun 1943, ketika ia masih membujang.
Tidak cuma menciptakan lagu. Pemusik otodidak ini juga pembaru musik Sunda. Adalah Mang Koko, orang Sunda pertama, yang memasukkan dasar perkusi ke dalam lagu-lagunya. Ia melakukan itu sejak 1950, jauh sebelum Harry Roesli memainkan musik perkusi – bahkan sebelum Harry lahir. Misalnya lagu Mundinglaya, Mang Koko memasukkan suara kentongan. Tetapi di bagian lain lagi, ia melengkapi bunyi kecapi dengan merintis pemakaian elektrik. Dalam hal pembaru musik Sunda inilah pemerintah memberikan Anugerah Satya Lencana, 1971, yang disematkan oleh Menteri P dan K (waktu itu) Mashuri, S.H.
Mang Koko tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda “Kaca Indihiang” (1946), “Taman Murangkalih” (1948), “Taman Cangkurileung” (1950), “Taman Setiaputra” (1950), “Kliningan Ganda Mekar” (1950), “Gamelan Mundinglaya” (1951), dan “Taman Bincarung” (1958).
Selanjutnya Mang Koko dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Cangkurileung pada 6 Maret 1959 yang berpusat di Bandung. Sedangkan cabang-cabangnya menyebar di lingkungan sekolah-sekolah hampir di seluruh Jawa Barat. Kegiatannya sistematis dan kostinten, seperti mengisi acara kawih di RRI Bandung setiap hari Minggu, mengadakan kursus karawitan untuk para guru, menerbitkan Majalah Swara Cangkurileung (1974-sekarang), dsb. Sampai sekarang, kegiatan Yayasan Cangkurileung masih berlangsung, diteruskan oleh dua dari delapan orang putranya, yaitu Tatang Benyamin Koswara dan Ida Rosida.
Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian “Swara Cangkurileung” (1970-1983).
Mang Koko juga merupakan afresiator sastra Sunda yang sangat peka. Ia melahirkan banyak sanggian kawih yang rumpakanya berasal dari sajak-sajak karya para sastrawan. Mang Koko bekerja keras dan sangat teliti dalam memahami atau menghayati sajak yang akan digubahnya mejadi kawih. Terkadang Mang Koko menanyakan langsung kepada penulisnya, baik mengenai bahasa maupun muatan isinya. Mulai dari kawih “Talatah” (karya Siti Armilah atau SAR), “Bulan Dagoan” (karya R Ading Affandie atau RAF), dan “Samoja” (karya Wahyu Wibisana). Tiga kawih tersebut lahir pada dekade 50-an. Selanjutnya Mang Koko semakin banyak nyanggi kawih dari sajak-sajak karya sastrawan lainnya, seperti “Di Langit Bandung Bulan keur Mayung” karya Dedy Windyagiri, “Bulan Bandung Panineungan” karya Wahyu Wibisana, “Kudu ka Saha” karya Winarya Artadianta, “Purnama” karya Agus Sur, “Wengi Énjing Tepang Deui” karya Tatang Sastrawiria, dsb.
Mang Koko juga dikenal sebagai sosok yang nyantri. Hampir setiap Subuh mengumandangkan adzan. Suaranya melengking merdu, membangunkan orang-orang di sekitarnya. Mang Koko bisa mengumandangkan adzan dengan sorog, pélog atau madenda. Kabarnya, jika mendengar adzan Mang Koko, orang yang tidak berniat sholat di Masjid pun segera bergegas menuju masjid. Mirip dengan kisah Bilal bin Rabbah, sahabat Rosululloh SAW, yang memiliki suara melengking merdu setiap beliau mengumandangkan adzan. Bahkan untuk olah vokal, ia memanjat menara masjid menjelang subuh, mengalunkan tarhim.“Sebagai olah vokal, tarhim merupakan cara yang sangat baik,” katanya.
Pada Jumat dinihari itu, ketika orang-orang terlelap ditempat tidurnya masing-masing, Haji Koko Koswara, berangkat ke masjid Al-Jihad, tidak begitu jauh dari rumahnya di Jalan Jurang 119, Bandung. Ia pun mengalunkan tarhim, doa, dan pujian menjelang salat subuh. Kali ini tidak seperti biasanya. Setelah suaranya berhenti ia tak bisa bangkit. Kedua kakinya tak bisa digerakkan. Orang yang berada di masjid itu segera menghubungi keluarga Koko. Kemudian, sementara ia digotong ke rumahnya, dokter dipanggil.
Koko Koswara – yang lebih terkenal dengan panggilan Mang Koko – budayawan Sunda, mungkin sulit untuk dicarikan pembanding, pada Jumat pagi 4 Oktober 1985 itu kembali ke haribaan Allah SWT pada umur 68 tahun. Ia dimakamkan esok harinya di pekuburan Sirnaraga, Bandung. Ratusan seniman dan ribuan orang mengantarkannya.
Berdasar prestasinya yang gemilang, Mang Koko pun pernah menerima berbagai piagam penghargaan dari pemerintah, lembaga dan organisasi, termasuk Piagam Wijayakusumah (1971), sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori “Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan”. Pada tahun 2004, Yayasan Cangkurileung juga menerima Hadiah Sastra Rancagé 2004 (untuk bidang jasa), dan menerima Anugrah Jabar Music Award 2005 dari Sekolah Tinggi Musik Bandung dan Disbudpar Jabar, untuk kategori seniman musik yang sudah wafat.
Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya:
  • “Resep Mamaos” (Ganaco, 1948),
  • “Cangkurileung” (3 jilid/MB, 1952),
  • “Ganda Mekar” (Tarate, 1970),
  • “Bincarung” (Tarate, 1970),
  • “Pangajaran Kacapi” (Balebat, 1973),
  • “Seni Swara Sunda/Pupuh 17″ (Mitra Buana, 1984),
  • “Sekar Mayang” (Mitra Buana, 1984),
  • “Layeutan Swara” (YCP, 1984),
  • “Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan”; dan sebagainya.
Sememntara beberapa Kawih Karya Mang Koko, yang disanggi dari Sajak Sunda para satrawan lainnya:
  1. Angin Burit (Winarya Artadinata)
  2. Angin Priangan (Wahyu Wibisana)
  3. Asih Abadi (Dédi Windiagiri)
  4. Bulan Bandung Panineungan (Wahyu Wibisana)
  5. Bulan Langlayangan Peuting (Wahyu Wibisana)
  6. Bungur Mumunggang (Wahyu Wibisana)
  7. Di Langit Bandung Bulan keur Mayung (Dédi Windiagiri)
  8. Girimis Kasorénakeun (Dédi Windiagiri)
  9. Hareupeun Kaca (Winarya Artadinata)
  10. Hariring Nu Kungsi Nyanding (Winarya Artadinata)
  11. Hirup (Nano S)
  12. Imut Malati (Wahyu Wibisana)
  13. Jalir Jangji (SAR)
  14. Kalangkang di Cikamiri (Wahyu Wibisana)
  15. Karatagan Pahlawan (Mang Koko)
  16. Kasenian (Mang Koko)
  17. Kembang Balébat (Wahyu Wibisana)
  18. Kembang Impian (Dédi Windiagiri)
  19. Kembang Tanjung Panineungan (Wahyu Wibisana)
  20. Kudu ka Saha (Winarta Artadinata)
  21. Lalaki Padjadjaran (Mang Koko)
  22. Longkéwang (Dédi Windiagiri)
  23. Malati di Gunung Guntur (Wahyu Wibisana)
  24. Peuting jeung Pangharepan (RAF)
  25. Purnama (Agus Sur)
  26. Rayagung ka Balé Nyungcung (Dédi Windiagiri)
  27. Reumis Beureum (Wahyu Wibisana)
  28. Sagagang kembang Ros (Winarya Artadinata)
  29. Salempay Sutra (Winarya Artadinata)
  30. Sariak Layung (Dédi Windiagiri)
  31. Sulaya Janji (Winarya Artadinata)
  32. Tanjung (Wahyu Wibisana)
  33. Tina Jandéla (Dédi Windiagiri)
  34. Wengi Énjing Tepang Deui (Tatang Sastrawiria)***
Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dang ending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:
  • “Gondang Pangwangunan”,
  • “Bapa Satar”,
  • “Aduh Asih”,
  • “Samudra”,
  • “Gondang Samagaha”,
  • “Berekat Katitih Mahal”,
  • “Sekar Catur”,
  • “Sempal Guyon”,
  • “Saha?”,
  • “Ngatrok”,
  • “Kareta Api”,
  • “Istri Tampikan”,
  • “Si Kabayan”,
  • “Si Kabayan jeung Raja Jimbul”,
  • “Aki-Nini Balangantrang”,
  • “Pangeran Jayakarta”,
  • “Nyai Dasimah”.
Dari berbagai sumber:
  • Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  • Tempo Edisi. 33/XV/12 – 18 Oktober 1985
  • http://Ppss.or.id  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar