Jumat, 18 Januari 2013

Rabu, 16 Januari 2013

Biografi Bpk.Atep Munawar S.Ag





  Bpk. Atep Munawar S.Ag, lahir di Garut 6 Juli 1969. Beliau mengajar Pendidikan Agama Islam kurang lebih 13 tahun di SMA Pasundan 3 Bandung dan sekaligus Pembina Ekskul BINTALIS atau Bimbingan Mental Islam.
  Beliau juga menjabat sebagai Kesiswaan bersama Bpk. Hendra Yulianto, beliau juga sangat berperan dalam Gerakan Perubahan SMA Pasundan 3 Bandung dan beliau ikut mendukung program busana ciri khas SMA Pasundan 3 Bandung.
  Pa Atep telah menikah pada tahun 2008 dan telah di karuniai seorang anak laki-laki.
Selain guru Agama Islam, Pembina Ekskul Bintalis dan Menjabat sebagai kesiswaan, Beliau merupakan Tauladan bagi murid-murid SMA Pasundan 3 Bandung. Beliau sangat baik, murah senyum, dan dapat berbaur bersama murid-muridnya.
  Pa Atep adalah salah satu Guru Favorit yang ada di SMA Pasundan 3 Bandung dikarenakan Pa Atep mudah bersosialisasi dan tidak canggung terhadap semua murid-muridnya.
  Bagi siswa-siswi SMA Pasundan 3 Bandung, Pa Atep adalah seorang Imam yang baik dan sekaligus Ayah yang baik. Oleh karena itu sebagian dari murid SMA Pasundan 3 Bandung sering memanggil Pa Atep dengan sebutan "Abi".
  Pa Atep adalah salah satu Guru yang rajin, disetiap acara sekolah Pa Atep selalu hadir.

Selasa, 15 Januari 2013

Pada Tahun 1989 SMA Pasundan 3 Bandung Jadi Pilot Proyek Dan Sejarah SMA Pasundan 3 Bandung





KETERANGAN :

"Bandung Pos RABU (PON) 14 UNI 1989

PENJELASAN GAMBAR-Siswa-siswi lulusan SLTP yang akan masuk ke SMA Pasundan sedang menerima penjelan dari Kepala SMA Pasundan 3 Bandung Drs. H.M. Odon Kardana.


SMA Pasundan 3 dan 7 Bandung JL.Kebon Jati no.31 Tlp. 438679
Pilihan tepat, siswa yang ingin berprestasi
Jaminan Sukses Dalam Studi



Dimekarkan Jadi Dua Sekolah:

SMA Pasundan 3 Bandung Jadi Pilot Proyek

BANDUNG. (BP).- SMA Pasundan 3 JL.Kebon Jati 31 Bandung, tahun ini terpilih jadi pilot proyek oleh Yayasan pasundan menjadi Sekolah percontohan.
  Hal tersebut dikatakan oleh kepala SMA Pasundan 3 Bandung Drs. H.M. Odon Kardana ketika dihubungi "BP" dikantornya.
  Pada tahun ini pula, SMA Pasundan 3 Bandung dimekarkan jadi dua buah SMA, yakni SMA Pasundan 3 dan SMA Pasundan 7, sedangkan tempat, guru-guru, dan Kepala Sekolahnya tetap. Yang berbeda, kata Drs. H.M Odon Kardana kepada "BP", waktu belajarnya saja. Untuk SMA Pasundan 3 pagi hari, sedangkan untuk SMA Pasundan 7 belajarnya siang hari.
  "Dimekarkannya SMA Pasundan 3, karena setiap tahun murid yang mendaftar selau membludak" ujarnya.
  Diakui Kepala Sekolah SMA Pasundan 3 Bandung, banyaknya murid yang daftar kesekolahnya itu, selain tempatnya strategis bisa dijangkau semua kendaraan, juga sangat disiplin.
PMR Selalu Di Bon.
  Menurut Drs. H.M. Odon kardana kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang sering diadakan antara lain;Olahraga, PKS, Lintas Alam, PMR, Pramuka dan dalam bidang Kesenian.
  "Bahkan PMR sering di Bon oleh Polda Jabar" ujar H.M. Odon Kardana.
  dibidang kesenian, siswa-siwi SMA Pasundan 3 baru-baru ini telah meraih juara Rampak Sekar se-Jawa Barat. Begitu juga dalam olahraga Volli, putrinya berhasil meraih juara pertama tingkat jawa Barat.
  Untuk menampung siswa-siswi SLTP yang akan masuk ke SMA Pasundan 3 Bandung, sekolah menediakan tempat sebanyak 22 kelas, yaitu untuk SMA Pasundan 3 sebanyak 11 kelas dan untuk SMA Pasundan 7 11 kelas.
  SMA Pasundan 3 Bandung yang berdiri tahun 1981, katanya kini memiliki murid 2504 murid dan anak-anak kelas III yang lulus sebanyak 751 orang. (hade)

SMA Pasundan 3 dan 7 Bandung salah satu sekolah yang menanamkan disiplin yang ketat kepada siswanya (pelaksanaan 5K : keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Keindahan, dan kekeluargaan) an secara konsekwen melksanakn ciri khas pendidikan pasundan (Budaya Daerah dan Agama)
Pelaksanaan tata tertib betul-betul dilaksanakan sepenuhnya, umpamanya: Sepatu hitam, lokasi, badge Osis, rambut, seragam sekolah, sabuk hitam, dst."



karna pada tahun 1989 murid yang ada di SMA Pasundan 3 Bandung terlalu membludak, maka dimekarkanlah menjadi dua sekolah, yaitu SMA Pasundan 3 dan 7 Bandung.
Oleh karena itu Berdirinya SMA Pasundan 7 Bandung tidak dapat dipisahkan dari kaitannya dengan keterbatasan daya  tampung bagi SMA Pasundan 3 Bandung, pada tahun 1981, Bapak Drs Wahyudin Makmun (almarhum) telah menambah  lokasi kelas dilantai dua untuk menampung animo para siswa yang ingin diterima di SMA Pasundan 3 Bandung, sampai dengan tahun pelajaran 1987/1988 belum ada pembatasan daya tampung bagi SMA baik negeri maupun swasta, sehingga pada tahun itu SMA Pasundan 3 Bandung mempunyai 33 kelas, yang berdasarkan statistik jumlah kelas SMA di Jawa Barat pada tahun itu sudah mencapai daya tampung maksimal yaitu type A kelas I sebanyak sebelas kelas, kelas II sebelas kelas dan kelas III sebelas kelas. Pada PMB tahun pelajaran 1988/1989 animo masyarakat semakin besar sehinggga calon siswa baru untuk kelas I yang mendaftar mencapai 22 kelas atau sekitar 1056 orang, untuk menampung siswa sebanyak itu, Yayasan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasundan mengeluarkan kebijakan penambahan jumlah sekolah sesuai dengan panca program YPDM Pasundan antara lain dengan memekarkan sekolah yang besar menjadi dua sekolah sehingga KBM dapat berjalan dengan lancar walaupun kelas sebanyak itu dibagi-bagi.

Atas pertimbangan banyaknya ruang kelas yang tidak terpakai, maka pihak lain mengingat kebijaksanaan pengurus YPDM Pasundan dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas sekolah Pasundan serta melihat peluang besar dari kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat bagi pendirian sekolah swasta, maka Bapak Drs Wahyudin Makmun pada tahun pelajaran 1987/1988 mulai merencanakan pendirian SMA Pasundan 7 Bandung yang berlokasi di Pangkalan SMA Pasundan 3 Jl. Kebon Jati No 31 Bandung.
SMA Pasundan 3 bandung pada tahun pelajaran 1987/1988 memiliki kelas lebih dari maksimum 33 kelas. Pada kondisi seperti ini kepala sekolah SMA pasundan 3 Bandung beserta staffnya mengajukan permohonan pendirian sekolah SMA Pasundan 7 Bandung yang lokasinya tetap berada di Jl. Kebon Jati No. 31 Bandung, sesuai dengan Panca Program YPDM Pasundan yang menggariskan kebijakan pengembangan penambahan jumlah sekolah, antara lain memekarkan sekolah yang besar menjadi dua sekolah.

Dengan dasar ini diupayakan pengajuan pendirian SMA Pasundan 7 Bandung.
  A.Para Pendiri
    Ketua          : H. M. O. Kardana, Drs (Kepala SMA Pasundan 3 bandung)
    Anggota      : 1. Enoch Andasasmita, BA
                          2. S. Gunawan, BA
                          3. Uhud Junaedi, BA
Usaha pendirian secara berencana dan berangsur, terus diupayakan maka pada tahun pelajaran  1988/1989 lahirlah SMA Pasundan 7 Bandung dari kandungan SMA Pasundan 3 Bandung. Tahap awal pengelolaaan SMA Pasundan 7 bandung dirangkap oleh tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di SMU Pasundan 3 Bandung baik yayasan, pimpinan sekolah, guru-guru dan karyawannya. Demikian pula sarana dan prasarananya seluruhnya menggunakan fasilitas yang ada di SMA pasundan 3 Bandung.Pada awal tahun pelajaran 1989/1990, pengurus YPDM Pasundan sudah menetapkan pejabat kepala SMA Pasundan 7 Bandung dan dilantik pada tanggal 16 September 1989 sebagai tindak lanjut pelantikan maka pada hari jumat tanggal 29 September 1989 diselenggarakan serah terima jabatan SMA Pasundan 7 bandung dari pejabat lama H. M. O. Kardana , Drs kepada pejabat baru  S.Gunawan, BA.

Kegiatan Qurban SMA Pasundan 3 Bandung 2012




















Sabtu, 12 Januari 2013

Karatagan Paguyuban Pasundan

KARATAGAN PAGUYUBAN PASUNDAN





Laras : Pelog
Surupan : 1 = T
Gerakan : Gandang



Tandang jiwa Ki Sunda
Daweung ludeung sawawa
Gurat kalang satangtungan
Tatandang panceg udagan

Paguyuban Pasundan.....
Mulasara basa budaya jeung bangsa
Paguyuban Pasundan ....
Jadi puser perjuangan Ki Sunda

Hayu rambati rata
Satitis ti Siliwangi
Sajajar ti Pajajaran
Hayu jungjung wibawa
Jembar daya Ki Sunda wawangi Nusantara

Paguyuban Pasundan
Paguyuban Pasundan
Paguyuban Pasundan

Mang Koko, Sastrawan Sunda Tiada Tara (1917-1985)

Mang Koko yang menyandang nama asli  Haji Koko Koswara, lahir di Kecamatan Indihiang, Tasikmalaya, 10 April 1917 adalah seorang tokoh seniman Sunda. Siapapun yang menyukai kawih Sunda, dapat dipastikan mengenal atau sekurang-kurangnya mendengar nama: Mang Koko (alm). Beliau adalah seorang guru, santri, sastrawan, penulis, jurnalis, organisator, pencipta lagu, pembaharu karawitan Sunda, dan patut menjadi suri tauladan bagi praktisi seni di zaman sekarang. Mang Koko telah sukses mencipta kawih untuk anak-anak sampai tingkat dewasa, sehingga lebih dikenal sebagai maestro karawitan, dan karya-karyanya berupa kawih, tembang (pupuh rancag), sekar tandak, gending karesmen, dll., abadi sampai kiwari. Karya-karyanya masih bergema di panggung-panggung, radio, dan televisi.
Ia mengikuti pendidikan HIS (1932) dan MULO Pasundan (1935). Sejak tahun 1937 berturut-turut beliau bekerja di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Paqsundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Badung), sampai ia wafat.
Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya, Ibrahim alias Sumarta (masih keturunan Sultan Hasanuddin Banten) yang tercatat sebagai juru mamaosCiawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.
Ayah delapan anak ini sudah mencipta seribu lebih lagu pop Sunda. Badminton, yang populer itu – apalagi di saat bulu tangkis kita masih berjaya – ternyata diciptakan jauh sebelum Rudy Hartono menjuarai All England. Mang Koko menuliskan syair kocak itu tahun 1943, ketika ia masih membujang.
Tidak cuma menciptakan lagu. Pemusik otodidak ini juga pembaru musik Sunda. Adalah Mang Koko, orang Sunda pertama, yang memasukkan dasar perkusi ke dalam lagu-lagunya. Ia melakukan itu sejak 1950, jauh sebelum Harry Roesli memainkan musik perkusi – bahkan sebelum Harry lahir. Misalnya lagu Mundinglaya, Mang Koko memasukkan suara kentongan. Tetapi di bagian lain lagi, ia melengkapi bunyi kecapi dengan merintis pemakaian elektrik. Dalam hal pembaru musik Sunda inilah pemerintah memberikan Anugerah Satya Lencana, 1971, yang disematkan oleh Menteri P dan K (waktu itu) Mashuri, S.H.
Mang Koko tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda “Kaca Indihiang” (1946), “Taman Murangkalih” (1948), “Taman Cangkurileung” (1950), “Taman Setiaputra” (1950), “Kliningan Ganda Mekar” (1950), “Gamelan Mundinglaya” (1951), dan “Taman Bincarung” (1958).
Selanjutnya Mang Koko dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Cangkurileung pada 6 Maret 1959 yang berpusat di Bandung. Sedangkan cabang-cabangnya menyebar di lingkungan sekolah-sekolah hampir di seluruh Jawa Barat. Kegiatannya sistematis dan kostinten, seperti mengisi acara kawih di RRI Bandung setiap hari Minggu, mengadakan kursus karawitan untuk para guru, menerbitkan Majalah Swara Cangkurileung (1974-sekarang), dsb. Sampai sekarang, kegiatan Yayasan Cangkurileung masih berlangsung, diteruskan oleh dua dari delapan orang putranya, yaitu Tatang Benyamin Koswara dan Ida Rosida.
Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian “Swara Cangkurileung” (1970-1983).
Mang Koko juga merupakan afresiator sastra Sunda yang sangat peka. Ia melahirkan banyak sanggian kawih yang rumpakanya berasal dari sajak-sajak karya para sastrawan. Mang Koko bekerja keras dan sangat teliti dalam memahami atau menghayati sajak yang akan digubahnya mejadi kawih. Terkadang Mang Koko menanyakan langsung kepada penulisnya, baik mengenai bahasa maupun muatan isinya. Mulai dari kawih “Talatah” (karya Siti Armilah atau SAR), “Bulan Dagoan” (karya R Ading Affandie atau RAF), dan “Samoja” (karya Wahyu Wibisana). Tiga kawih tersebut lahir pada dekade 50-an. Selanjutnya Mang Koko semakin banyak nyanggi kawih dari sajak-sajak karya sastrawan lainnya, seperti “Di Langit Bandung Bulan keur Mayung” karya Dedy Windyagiri, “Bulan Bandung Panineungan” karya Wahyu Wibisana, “Kudu ka Saha” karya Winarya Artadianta, “Purnama” karya Agus Sur, “Wengi Énjing Tepang Deui” karya Tatang Sastrawiria, dsb.
Mang Koko juga dikenal sebagai sosok yang nyantri. Hampir setiap Subuh mengumandangkan adzan. Suaranya melengking merdu, membangunkan orang-orang di sekitarnya. Mang Koko bisa mengumandangkan adzan dengan sorog, pélog atau madenda. Kabarnya, jika mendengar adzan Mang Koko, orang yang tidak berniat sholat di Masjid pun segera bergegas menuju masjid. Mirip dengan kisah Bilal bin Rabbah, sahabat Rosululloh SAW, yang memiliki suara melengking merdu setiap beliau mengumandangkan adzan. Bahkan untuk olah vokal, ia memanjat menara masjid menjelang subuh, mengalunkan tarhim.“Sebagai olah vokal, tarhim merupakan cara yang sangat baik,” katanya.
Pada Jumat dinihari itu, ketika orang-orang terlelap ditempat tidurnya masing-masing, Haji Koko Koswara, berangkat ke masjid Al-Jihad, tidak begitu jauh dari rumahnya di Jalan Jurang 119, Bandung. Ia pun mengalunkan tarhim, doa, dan pujian menjelang salat subuh. Kali ini tidak seperti biasanya. Setelah suaranya berhenti ia tak bisa bangkit. Kedua kakinya tak bisa digerakkan. Orang yang berada di masjid itu segera menghubungi keluarga Koko. Kemudian, sementara ia digotong ke rumahnya, dokter dipanggil.
Koko Koswara – yang lebih terkenal dengan panggilan Mang Koko – budayawan Sunda, mungkin sulit untuk dicarikan pembanding, pada Jumat pagi 4 Oktober 1985 itu kembali ke haribaan Allah SWT pada umur 68 tahun. Ia dimakamkan esok harinya di pekuburan Sirnaraga, Bandung. Ratusan seniman dan ribuan orang mengantarkannya.
Berdasar prestasinya yang gemilang, Mang Koko pun pernah menerima berbagai piagam penghargaan dari pemerintah, lembaga dan organisasi, termasuk Piagam Wijayakusumah (1971), sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori “Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan”. Pada tahun 2004, Yayasan Cangkurileung juga menerima Hadiah Sastra Rancagé 2004 (untuk bidang jasa), dan menerima Anugrah Jabar Music Award 2005 dari Sekolah Tinggi Musik Bandung dan Disbudpar Jabar, untuk kategori seniman musik yang sudah wafat.
Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya:
  • “Resep Mamaos” (Ganaco, 1948),
  • “Cangkurileung” (3 jilid/MB, 1952),
  • “Ganda Mekar” (Tarate, 1970),
  • “Bincarung” (Tarate, 1970),
  • “Pangajaran Kacapi” (Balebat, 1973),
  • “Seni Swara Sunda/Pupuh 17″ (Mitra Buana, 1984),
  • “Sekar Mayang” (Mitra Buana, 1984),
  • “Layeutan Swara” (YCP, 1984),
  • “Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan”; dan sebagainya.
Sememntara beberapa Kawih Karya Mang Koko, yang disanggi dari Sajak Sunda para satrawan lainnya:
  1. Angin Burit (Winarya Artadinata)
  2. Angin Priangan (Wahyu Wibisana)
  3. Asih Abadi (Dédi Windiagiri)
  4. Bulan Bandung Panineungan (Wahyu Wibisana)
  5. Bulan Langlayangan Peuting (Wahyu Wibisana)
  6. Bungur Mumunggang (Wahyu Wibisana)
  7. Di Langit Bandung Bulan keur Mayung (Dédi Windiagiri)
  8. Girimis Kasorénakeun (Dédi Windiagiri)
  9. Hareupeun Kaca (Winarya Artadinata)
  10. Hariring Nu Kungsi Nyanding (Winarya Artadinata)
  11. Hirup (Nano S)
  12. Imut Malati (Wahyu Wibisana)
  13. Jalir Jangji (SAR)
  14. Kalangkang di Cikamiri (Wahyu Wibisana)
  15. Karatagan Pahlawan (Mang Koko)
  16. Kasenian (Mang Koko)
  17. Kembang Balébat (Wahyu Wibisana)
  18. Kembang Impian (Dédi Windiagiri)
  19. Kembang Tanjung Panineungan (Wahyu Wibisana)
  20. Kudu ka Saha (Winarta Artadinata)
  21. Lalaki Padjadjaran (Mang Koko)
  22. Longkéwang (Dédi Windiagiri)
  23. Malati di Gunung Guntur (Wahyu Wibisana)
  24. Peuting jeung Pangharepan (RAF)
  25. Purnama (Agus Sur)
  26. Rayagung ka Balé Nyungcung (Dédi Windiagiri)
  27. Reumis Beureum (Wahyu Wibisana)
  28. Sagagang kembang Ros (Winarya Artadinata)
  29. Salempay Sutra (Winarya Artadinata)
  30. Sariak Layung (Dédi Windiagiri)
  31. Sulaya Janji (Winarya Artadinata)
  32. Tanjung (Wahyu Wibisana)
  33. Tina Jandéla (Dédi Windiagiri)
  34. Wengi Énjing Tepang Deui (Tatang Sastrawiria)***
Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dang ending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:
  • “Gondang Pangwangunan”,
  • “Bapa Satar”,
  • “Aduh Asih”,
  • “Samudra”,
  • “Gondang Samagaha”,
  • “Berekat Katitih Mahal”,
  • “Sekar Catur”,
  • “Sempal Guyon”,
  • “Saha?”,
  • “Ngatrok”,
  • “Kareta Api”,
  • “Istri Tampikan”,
  • “Si Kabayan”,
  • “Si Kabayan jeung Raja Jimbul”,
  • “Aki-Nini Balangantrang”,
  • “Pangeran Jayakarta”,
  • “Nyai Dasimah”.
Dari berbagai sumber:
  • Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  • Tempo Edisi. 33/XV/12 – 18 Oktober 1985
  • http://Ppss.or.id  

Kamis, 10 Januari 2013